Selasa, 29 Juli 2008

Pemberitaan Penyimpangan di STPDN Didukung Alumni Pendidikan Praja

Medan, Kompas - Para alumni pendidikan pamong praja se-Sumatera Utara (Sumut) sangat mendukung setiap pemberitaan oleh media massa yang mengekspos penyimpangan di Sekolah Tinggi Pemerintahan Dalam Negeri (STPDN), Jatinangor (Jawa Barat). Pemberitaan itu seyogianya dijadikan introspeksi intern bagi lembaga STPDN, sebagai upaya perbaikan ke arah yang lebih baik di masa mendatang.

Penegasan itu disampaikan sekitar 30-an alumni pendidikan pamong praja yang bertugas di Sumut, dalam pernyataan sikap bersama di Medan, Selasa (30/9). Pernyataan sikap yang ditandatangani oleh wakil alumni STPDN mulai angkatan pertama hingga angkatan 11 itu, dibacakan di depan Sekretaris Daerah Provinsi Sumut Muhyan Tambuse dan ditembuskan ke Presiden RI, Pimpinan DPR-RI, Menteri Dalam Negeri, dan lain-lain. Para alumni ini terdiri dari tamatan APDN (Akademi Pemerintahan Dalam Negeri), STPDN, dan IIP (Institut Ilmu Pemerintahan).

Ketua Ikatan Alumni Pamong Praja Medan Ramli yang ditanya Kompas tentang latar belakang pernyataan sikap itu mengakui, semata-mata dilatar-belakangi oleh keprihatinan dan kepedulian terhadap mencuatnya berbagai kasus kekerasan yang terjadi di STPDN akhir-akhir ini.

"Apa yang menimpa STPDN, betul-betul telah mengusik para alumni termasuk yang mengabdi di Sumut. Karena itulah, kita mendukung keputusan Depdagri yang akan mengevaluasi kembali pola pembinaan di STPDN ," tegas Ramli.

Di Sumut jumlah lulusan STPDN tercatat 2.080 orang. Mereka bekerja di berbagai instansi pemda, mulai dari kelurahan hingga provinsi.

Dalam pernyataan sikap itu, mereka secara tegas menyesalkan adanya tindakan kekerasan yang dilakukan praja sehingga merenggut korban jiwa.

Kalimantan Selatan

Sementara itu, alumni STPDN se-Kalimantan Selatan (Kalsel) juga mengeluarkan pernyataan sikap. Dalam pernyataan sikap mereka yang ditandatangani Drs Rahmat Taufik, M.Si (atas nama alumni STPDN se-Kalsel) antara lain menyebutkan, keprihatinan mereka atas semua peristiwa yang terjadi di STPDN dan turut menyampaikan belasungkawa atas meninggalnya madya praja Wahyu Hidayat (korban kekerasan di STPDN-Red). Mereka juga mengharapkan segera diadakan penataan kembali sistem perekrutan dan kurikulum pengajaran, pelatihan, dan pengasuhan di STPDN.

Sementara itu, dari Jatinangor dilaporkan, selama 12 tahun terakhir, lebih dari 300 praja berhenti dari STPDN. Jumlah tersebut termasuk praja yang meninggal dunia, melarikan diri, dan mengundurkan diri karena sakit.

Data yang diperoleh Kompas dari STPDN menunjukkan sebagian besar praja (201 orang atau 63,4 persen) berhenti karena mengundurkan diri, melarikan diri atau meninggalkan Kampus STPDN. (zul/irn/ham)

Tidak ada komentar: