Senin, 28 Juli 2008

2.10.2007 10:38:24 1145x dibaca
TRANSFORMASI NILAI-NILAI KETELADANAN
Oleh Paulus Mujiran

Pendidikan keteladanan menemukan relevansinya dalam masyarakat korup yang dipenuhi dengan praktek-praktek KKN. Ketika berbicara mengenai etika dan moralitas yang menjadi bagian penting filsafat pendidikan selalu bersitegang dengan makna ajaran dalam konteks kehidupan nyata. Proses belajar mengajar bukan lagi menjadi ajang transformasi nilai melainkan seperti sinetron kejar tayang yang bertugas menghabiskan bahan ajar terhadap peserta didik tidak peduli dengan internalisasi dalam dirinya.
Ketegangan selalu dibiarkan terus terjadi berupa sikap saling menghadapkan dan memperlawankan antara pendidik dan peserta didik pada aneka kemungkaran dalam hidup bernegara dan bermasyarakat. Padahal, pendidikan yang tidak sesuai dengan kehidupan nyata peserta didik tidak bisa diharapkan mampu membawa perubahan perikaku peserta didik.
Sindiran Romo JB Mangunwijaya (alm) beberapa tahun silam kiranya masih hangat dan relevan. Ia mengatakan banyak orang mengatakan diri pendidik namun tidak tahu bagaimana harus bersikap menjadi pendidik sejati. Banyak orang mengklaim sebagai orang tua namun tidak tahu bagaimana menjadi orang tua yang benar yang perilaku, tutur katanya menjadi teladan dan panutan bagi anak-anaknya. Banyak orang berambisi menjadi pemimpin namun tidak tahu tanggung jawab sebagai pemimpin yang melayani masyarakat.
Salah kaprah pemahaman dan penafsiran semacam inilah yang kata Mangun tengah berjangkit di sebagian besar penduduk Indonesia. Kalau berpesta dan beribadah sukanya duduk di depan. Kalau ditawari jabatan maunya yang enak-enak dan terkemuka. Namun ketika ditagih tanggung jawabnya yang ada adalah berkelit dan melarikan diri dari tanggung jawab.
Benyamin Bloom (1986) mencatat dalam konteks pembudayaan pendidikan contoh jauh lebih penting ketimbang serangkaian teori yang kering tanpa makna. Teori tetap penting, namun menjadi lebih mudah terjadi transformasi ketika ada contoh-contoh nyata yang dengan mudah diterapkan dalam kehidupan nyata. Contoh, kata Bloom tidak hanya diperlukan pada mata ajar eksakta saja namun terutama untuk soal-soal humaniora juga membutuhkan contoh.
J. Drost (1996) justru menekankan pendidikan yang membutuhkan perubahan perilaku peserta didik keteladanan dari orang terdekat peserta didik sangat penting. Perilaku guru, kepala sekolah, wali kelas di sekolah, orang tua, tetangga dan tokoh masyarakat di rumah maupun pemimpin negara dalam konteks negara bangsa sangat diperlukan. Peserta didik memerlukan figur identifikasi untuk menemukan jati dirinya.
Rijkefers (2001) justru menegaskan dalam pendidikan humaniora peran pendidik sendiri mempunyai andil sangat menentukan dalam internalisasi pemahaman dan pengetahun peserta didik. Pendidik dan peserta didik dalam hal ini bukan interaksi dan permainan benda-benda mati belaka, melainkan manusia dengan serangkaian pembawaan individu dan karakter yang terus-menerus melakukan pembentukan dalam dirinya.
Karena itu, ketika pendidikan dipahami sebagai proses pemanusiaan dan pembudayaan terus-menerus (on going formation) maka tidak akan lepas dari manusia-manusia teladan yang mampu dicontoh orang lain. Pendidikan model ini akan membiasakan diri dengan aksi dan refleksi ketika teori yang dipelajari di depan kelas dikonfrontasikan dengan kehidupan nyata.
Proses pembelajaran model ini membawa iklim kritis karena peserta didik diajak menyelami, mengamati dan mengalami sendiri beragam ketidakbecusan dalam hidup bermasyarakat. Proses pembelajaran model ini biasanya akan membawa peserta didik pada diskusi yang ramai mulai soal pembagian SLT yang tidak merata, pembagian kompor gas yang salah sasaran, pengurus RT yang pilih kasih hingga praktek korupsi yang dilakukan pejabat.
Dalam forum semacam ini biasanya akan ditemukan benang merah kesadaran peserta didik bahwa menyelewengkan bantuan apalagi untuk orang miskin atau melakukan korupsi untuk memperkaya diri dan mengabaikan kesejahteraan mereka yang miskin adalah perbuatan nista dan tidak terpuji. Dengan cara demikian mereka dengan sendirinya menemukan solidaritas baru bahwa membantu mereka yang miskin – apalagi teman sekelas menjadi keharusan.
Sangat ideal manakala suasana pembelajaran yang demokratis itu mampu diaplikasikan dalam kehidupan nyata. Namun tragisnya, suasana dialogis yang mulai berkembang dalam kancah pendidikan kehilangan gema ketika memasuki dalam hidup nyata. Pertanyaan miris bernada menggugat adalah, untuk apa mereka belajar kejujuran ketika dalam hidup bermasyarakat mereka dihadapkan dengan ketidakjujuran, kecurangan dan manipulasi.
Tinggal dua pilihan bagi peserta didik. Mereka akan menjadi bagian dari masyarakat yang apatis yang mengikuti saja arus kebanyakan karena memang lebih aman. Namun bisa jadi mereka mengambil pilihan kedua ambil bagian dalam masyarakat kritis dengan berdoa mudah-mudahan ada perbaikan dan perubahan. Namun yang jelas kegagalan mentransformasikan iklim pembelajaran yang penuh dengan teori moralitas dan dihadapkan pada hidup nyata akan membawa kefrustasian bagi peserta didik.
Kian nyaring terdengar, gugatan terhadap rapuhnya pendidikan keteladanan semakin menyeruak belakangan ini. Tidak saja bahwa anak didik semakin kehilangan figur-figur yang bisa menjadi panutan tetapi hampir tidak ada lagi sosok yang mampu memancarkan keteladanan yang hidupnya bisa dicontoh orang muda. Di masa lalu orang bisa mengatakan lihat itu Bapak A atau B yang hidupnya bisa menjadi panutan. Jika kita menengok ke belakang manipulasi keteladanan dilakukan di era Orde Baru ketika mereka yang duduk dalam kursi kekuasaan identik dengan panutan.
Orde Baru selalu mengartikan mereka yang menjadi pejabat adalah panutan dalam hidup. Orde Baru dengan segala ketertutupannya mampu menyembunyikan berbagai kelemahan yang ada sehingga yang nampak ke permukaan adalah yang baik-baik saja. Pejabat selalu diidentikkan dengan ‘sendika dawuh’ yang berarti pula pemimpin tidak pernah salah dan yang penting bapak senang.
Kita masih ingat salah satu mantan petinggi negeri ini yang mengidentifikasi dengan sosok Semar dalam dunia pewayangan. Maka istilah yang dipergunakan adalah istilah yang dalam dunia wayang adalah istilah yang hanya layak digunakan untuk para resi, raja, tokoh yang layak menjadi panutan. Bukan untuk seorang koruptor kelas kakap. Istilah lengser, ngedhaton, madheg pandhita merupakan ungkapan yang mudah ditemui yang menganalogikan diri dengan sosok panutan.
Era itu orang juga maklum dan mengamini saja karena meski semu pembangunan yang dijalankan juga menciptakan kesejahteraan rakyat seperti harga murah, tersedia lapangan kerja. Orang baru tersadar ketika keran reformasi dibuka dan tahu bahwa istilah kepandhitaan yang mulia hanyalah untuk menutupi berbagai kelemahan bahkan dalam pemahaman tertentu sebagai upaya menutupi pencurian uang negara.
Kini kita sadar sepenuhnya keteladanan di negeri ini benar-benar di titik nadir. Tidak ada lagi sosok yang bisa dijadikan panutan. Orang muda tidak lagu menemukan sosok panutan pada mereka yang tua. Lunturnya sosok teladan disebabkan oleh politisasi seseorang yang menyebabkan kewibawaan luntur. Banyak tokoh agama, pemuka agama, tokoh masyarakat menceburkan diri dalam kanca politik praktis.
Seorang kyai, pendheta, pastor, bhiksu, pemuka masyarakat mestinya menempatkan diri sebagai nabi yang menyuarakan kebenaran di tengah kehidupan bernegara dan bermasyarakat termasuk dalam panggung politik. Seorang kyai, pastor, pendeta hanya didengarkan suaranya dalam konteks kotbah dan peribadatan bukan dalam politik praktis.
Dengan masuk dalam kancah politik praktis otomatis mereka akan menjadi milik kelompok dan golongan tertentu. Akibatnya, suara kenabian yang selama ini bisa didengar dan menjadi milik semua orang berubah menjadi suara kelompok dan golongan. Lagipula, negeri ini dengan kemiskinan yang membelit mereka yang berada dalam kancah kekuasaan mudah tergoda oleh rayuan uang dan ber-KKN.
Maka ketika seorang pendidik berdiri di depan kelas berbicara mengenai ajaran-ajaran moral dan etika kehidupan, dengan mudah peserta didik menyebutkan sosok-sosok yang terlibat dalam kasus KKN meski mereka adalah panutan masyarakat. Yang sering digugat adalah ketika publik santer berbicara mengenai KKN yang dilakukan seseorang namun masih dengan enaknya bercokol di kursi kekuasaan.
Dalam situasi semacam ini peserta didik dihadapkan pada anomali. Di satu sisi mereka diajarkan mengenai ajaran untuk berbuat jujur, terus terang, terbuka baik dalam pelajaran agama, moral Pancasila, budi pekerti. Bahkan tidak kurang-kurang dalam hidup bermasyarakat di keluarga, gereja, masjid mereka ditekankan untuk mempraktekkan hidup yang jujur.
Namun dalam sisi lain mereka dihadapkan pada aneka kejanggalan yang membuat mereka menggugat. Dimana-mana orang berbuat tidak jujur. Praktek korupsi marak dimana-mana. Bahkan dalam dunia pendidikan yang lekat dengan kehidupan mereka sehari-hari tidak lepas dari sogokan, jual beli nilai, manipulasi nilai ujian yang kesemuanya membawa pesan buruk pagi proses pendidikan peserta didik.
Hal demikian terjadi karena masih ada upaya sistematis memisahkan pendidikan dari kehidupan anak didik yang sesungguhnya. Apa yang diajarkan kepada peserta didik di bangku kelas adalah teori yang sukar diaplikasikan dalam hidup nyata. Akibatnya anak didik mempunyai serangkaian konsep dan teori namun kering dalam pemahaman untuk hidup yang sesungguhnya.
Sudah lama dikeluhkan dunia pendidikan tidak lagi mampu menjadi ‘kawah candradimuka’ mendidik anak siap pakai dalam arti sesungguhnya. Dunia pendidikan sering dikritik karena lulusan yang dihasilkan cenderung ‘mogol’ atau setengah-setengah bahkan bermental lembek. Ini terjadi karena pendidikan mengabdi pada kekuasaan dan tidak berpijak pada kebutuhan dan keseharian peserta didik. (Paulus Mujiran, pendidik, Ketua Pelaksana Yayasan Kesejahteraan Keluarga Soegijapranata Semarang

Tidak ada komentar: